Diduga Ditipu Dan Dirugikan, Mei Astri Prihastuti Ungkap Dugaan Pelanggaran Ketenagakerjaan Oleh Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Tegal

Janji Gaji Setara dan BPJS Tak Terpenuhi, Mei Merasa Ditipu dan Dirugikan Usai Pindah Kerja
Kisah memilukan datang dari Mei Astri Prihastuti, seorang karyawan muda yang bekerja sambil menempuh pendidikan tinggi. Ia mengaku menjadi korban dugaan penipuan dan pelanggaran ketenagakerjaan setelah menerima tawaran kerja dari Teguh Rimbawan, dosen sekaligus Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Tegal (UMT).
Awalnya, Mei bekerja di BMT NU dengan posisi dan gaji yang cukup layak, yakni antara Rp2.100.000 hingga Rp2.500.000 per bulan. Selain itu, ia juga telah terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang aktif sejak awal bekerja. Namun, tawaran dari seorang dosen yang juga menjabat sebagai pejabat kampus membuatnya berpikir bahwa kesempatan baru tersebut akan lebih menjanjikan.
Janji Manis Berujung Pahit
Menurut pengakuannya, Teguh Rimbawan menawarkan Mei untuk bergabung di BTM Muhammadiyah, lembaga keuangan mikro yang berafiliasi dengan universitas. Dalam tawaran tersebut, Teguh menjanjikan gaji setara dengan yang diterima Mei di BMT NU, serta jaminan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang aktif sejak awal.
“Beliau bilang gajinya akan sama seperti di tempat saya sebelumnya, sekitar dua juta lebih. Ada BPJS juga, pokoknya hak-hak saya dijamin. Tapi setelah saya resign dari tempat lama dan menunggu satu bulan, saya baru dipanggil masuk. Saat gajian pertama, yang saya terima hanya Rp1.500.000,” tutur Mei.
Yang lebih mengejutkan, pihak BTM menyampaikan bahwa kepesertaan BPJS baru akan diaktifkan setelah dua tahun masa kerja. Padahal, berdasarkan ketentuan hukum, setiap pekerja wajib terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan sejak hari pertama bekerja.
“Saya merasa sangat dirugikan. Sudah kehilangan pekerjaan lama, gaji turun, BPJS tidak aktif, dan janji-janji awal tidak ditepati. Saya merasa ditipu oleh dosen sekaligus pejabat kampus sendiri,” ujar Mei dengan nada kecewa.
Pelanggaran Ketenagakerjaan dan Potensi Unsur Pidana
Kasus ini kemudian mendapat perhatian serius dari Mugiyatno, S.H., M.Kn., CTA, seorang pakar hukum sekaligus kuasa hukum Mei. Dalam keterangannya, Mugiyatno menilai bahwa kasus yang dialami Mei mengandung unsur pelanggaran ketenagakerjaan dan potensi pidana.
“Pemberian upah di bawah upah minimum regional merupakan pelanggaran nyata terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Apabila di wilayah Tegal UMK sudah ditetapkan lebih tinggi, maka pemberi kerja wajib membayar sesuai ketentuan tersebut,” jelas Mugiyatno.
Selain pelanggaran upah, Mugiyatno menyoroti aspek jaminan sosial tenaga kerja (BPJS). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, setiap pemberi kerja wajib mendaftarkan karyawannya ke dalam BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sejak awal masa kerja.
“Keterangan bahwa BPJS baru aktif setelah dua tahun kerja jelas tidak memiliki dasar hukum. Itu merupakan bentuk kelalaian atau pengabaian terhadap hak dasar tenaga kerja,” tegasnya.
Analisis Hukum dan Ancaman Pidana
Mugiyatno menjelaskan secara gamblang bahwa terdapat beberapa ketentuan hukum yang relevan dalam kasus ini:
-
Upah di Bawah UMK/UMR
Berdasarkan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah daerah.
Jika pelanggaran terjadi, Pasal 185 ayat (1) menegaskan bahwa pelaku dapat dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun, serta/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp400.000.000. -
Kewajiban Pendaftaran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, setiap pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS sejak hari pertama bekerja.
Jika tidak melaksanakan kewajiban tersebut, Pasal 55 menyebutkan ancaman pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). -
Potensi Penipuan atau Wanprestasi
Dalam konteks perekrutan, jika terbukti bahwa penawaran kerja disertai janji palsu yang menimbulkan kerugian bagi korban, hal ini dapat memenuhi unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, dengan ancaman pidana penjara hingga 4 tahun.
“Dalam kasus Mei, jika ada bukti komunikasi atau surat yang menunjukkan adanya janji gaji dan BPJS namun tidak direalisasikan, maka unsur penipuan atau wanprestasi sudah cukup kuat,” papar Mugiyatno.
Hak-Hak Pekerja yang Harus Diperjuangkan
Sebagai tenaga kerja, Mei berhak atas:
- Upah layak minimal sesuai UMK Kabupaten/Kota setempat;
- BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sejak awal masa kerja;
- Perlindungan hukum atas segala bentuk pelanggaran hubungan kerja;
- Kompensasi dan ganti rugi bila terjadi pelanggaran perjanjian kerja.
Mugiyatno menegaskan, “Negara melalui Dinas Ketenagakerjaan memiliki kewenangan memeriksa, menegur, bahkan menjatuhkan sanksi administratif hingga pidana terhadap pemberi kerja yang melanggar.”
Langkah Hukum yang Ditempuh
Saat ini, Mei bersama kuasa hukumnya tengah menyiapkan laporan resmi ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Tegal dan BPJS Ketenagakerjaan setempat. Jika tidak ada penyelesaian secara kekeluargaan, kasus ini akan dilanjutkan ke ranah pidana.
Langkah hukum yang direkomendasikan Mugiyatno adalah:
- Somasi tertulis kepada pihak BTM dan Universitas Muhammadiyah Tegal;
- Pelaporan ke Disnaker atas pelanggaran upah dan jaminan sosial;
- Pengaduan ke BPJS untuk pemeriksaan status kepesertaan;
- Pelaporan ke kepolisian bila unsur penipuan dan kejahatan intelektual terpenuhi.
Harapan Mei
Meski kecewa, Mei tetap berharap kasus ini menjadi pembelajaran bagi banyak pihak, terutama para pekerja muda yang baru meniti karier.
“Saya tidak ingin ada orang lain yang mengalami hal seperti saya. Saya cuma ingin hak saya dipenuhi dan keadilan ditegakkan,” ucapnya lirih.
Kasus Mei Astri Prihastuti menjadi gambaran nyata bagaimana penyalahgunaan jabatan dan janji palsu dalam perekrutan kerja dapat menimbulkan kerugian serius.
Sebagai pekerja, setiap individu berhak atas perlindungan hukum, penghasilan layak, dan jaminan sosial yang dijamin oleh undang-undang.
Negara, melalui lembaga-lembaga resmi, wajib memastikan bahwa setiap pelanggaran terhadap hak tenaga kerja tidak dibiarkan dan mendapatkan sanksi tegas sesuai hukum yang berlaku.